Penulis : Ummu Salamah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional
Pemerhati Perempuan dan Anak
JAKARTA--Tanggal 22 Desember 2025 biasa diperingati sebagai hari ibu. Hari yang diperingati untuk menghargai kasih sayang, pengorbanan dan peran seorang ibu dalam menjaga keluarganya. Hari ibu lahir dari kongres perempuan pada tahun 1928 sebagai mandat politik untuk melindungi martabat perempuan.
Diperingati setiap tahun sebagai pengingat untuk mendukung hak-hak perempuan dan membangun kesadaran tentang peran vital perempuan dalam menciptakan generasi yang berkualitas dengan tema tahun ini “Perempuan Berdaya dan Berkarya, Menuju Indonesia Emas 2045.
Narasi ucap peringatan hari ibu terus menggema di gawai di rayakan di berbagai instansi bahkan dengan menggelar berbagai lomba dan turnamen seperti yang dilakoni oleh para selebriti papan atas. Namun, dibawah langit sumatra dan Aceh yang berkabut, narasi itu terdengar sumbang. Dari Aceh Tamiang, Aceh Utara, Tapanuli Selatan hingga pesisir Sumatra Barat , ribuan ibu sedang bergelut dengan sisa -sisa banjir bandang. Mereka kehilangan “ruang hidup” – rumah yang kini tenggelam dengan lumpur terpaksa bertaruh martabat di tenda-tenda pengungsian yang kumuh.
Hari ibu di Wilayah bencana Sumatra dan Aceh adalah potret duka dua “Ibu” sekaligus. Kita melihat “Ibu Bumi” yang luluh lantak akibat eksploitasi segelintir orang dan di saat yang sama, kita melihat para “Ibu” pejuang keluarga yang berdarah-darah mempertahankan martabat di tenda pengungsian.
Ekofeminisme: eksploitasi alam adalah penindasan perempuan.
Dalam tradisi nusantara, tanah dan air disebut sebagai Ibu Pertiwi atau Ibu Bumi. Bumi difeminimkan karena sifatnya yang merawat kehidupan, seperti seorang ibu yang merawat anak-anaknya.
Bumi juga di pandang sebagai kerahiman, sesuai yang mengandung, guna mengalirkan sesuatu yang dapat menyemai kehidupan, pemberi kehidupan, penyedia air, dan penjaga ruang hidup. Ketika terjadi eksploitasi atas alam, kita sebenarnya sedang “memperkosa” Ibu Bumi. Banjir bandang yang datang bukanlah sekedar fenomena cuaca melainkan jeritan kesakitan dari alam yang telah hilang daya lindungnya.
Berdasarkan Kajian ekofeminisme, ada paralelisme antara eksploitasi alam dan penindasan perempuan. Saat Ibu Bumi dirusak demi keuntungan ekonomi jangka pendek, perempuanlah yang paling terdampak, kehilangan ruang hidup dan beban domestik yang menyiksa. Perempuan adalah yang paling terikat dengan alam untuk kebutuhan domestik keluarga. Saat hutan gundul dan air tercemar, beban ibu menjadi berlipat ganda. Menghormati ibu tidak mungkin dilakukan tanpa menghormati “Ibu Bumi”.
Dalam konteks bencana di sumatra dan Aceh, konsep ini menjelaskan mengapa penghancuran alam adalah serangan langsung terhadap martabat perempuan. Vandana Shiva (1997), menyatakan bahwa perempuan harus menanggung beban penderitaan yang lebih berat pada saat hutan rusak, karena, pertama mereka yang paling miskin diantara yang termiskin, dan kedua karena bersama alam mereka berperan selaku penopang utama masyarakat.
Carolyn Merchant,(1980) mengungkapkan bahwa sebelum revolusi industri, citra dominan alam adalah
“ibu yang baik” yang menyediakan kebutuhan manusia. Pergeseran pandangan alam menjadi “mesin” telah melagalkan perusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan.
Regulasi diatas kertas
Alenia ke IV Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan pemerintah Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, tujuan ini menjadi amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 bahwa yang menjadi legitimasi bagi peran negara dalam perekonomian nasional, pada ayat (3) dinyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pasal ini jelas dapat dijadikan dasar konstitusional untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat, namun jika dikaitkan dengan konteks bencana yang menimpa perempuan Aceh dan Sumatra, pasal ini hanyalah sekedar janji perlindungan ruang hidup yang seringkali di diingkari oleh negara. Dalam paradigma hukum progresif frasa “dikuasai oleh negara” berarti seharusmya negara memiliki kewajiban untuk mengatur, mengurus dan mengawasi, jika negara menguasai hutan dan sungai, maka negara bertanggungjawab penuh jika wilayahnya tersebut berubah menjadi sumber bencana.
UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana merupakan penjabaran operasional dari amanat konstitusi secara spesifk mengatur untuk melindungi dan memberikan keselamatan rakyat yang terancam bencana, pun bagi kelompok rentan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 55 bahwa kelompok rentan, bayi, balita dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia diberikan perioritas berupa penyelematan, evakuasi dan psikososial.Tidak berhenti pada UU ini, terbit berbagai peraturan berprespektif gender, Perka BNPB No. 13 Tahun 2014 tentang Pengarustamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana, bahwa penyelenggaran Penanggulangan Bencana yang responsif Gender perlu dilaksanakan untuk memastikan pemenuhan hak-hak dan kebutuhan laki-laki dan perempuan secara adil dan manusiawi.
Dalam kondisi tanggap darurat pemenuhan kebutuhan dasar, penampungan dan hunian semntara, kebutuhan air bersih dan sanitasi, layanan kesehatan, pendidikan, psikososial dan keamanan. Perturan ini diperkuat dengan Peraturan KemenPPA No. 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Penanggulangan Bencana.
Namun demikian, aturan ini hanyalah “macan kertas’ sekedar dokumen yang tertulis rapih diatas kertas putih tanpa implementasi, hampir sebulan pascabencana, Negara hadir setengah hati, bantuan seringkali dianggap selesai hanya dengan memberi makan, tanpa melihat kebutuhan spesifik perempuan. Membiarkan perempuan di pengungsian tanpa sekat privasi, tanpa toilet yang aman dan terpisah, serta tanpa akses kesehatan reproduksi, bagaimana dengan nasib para perempuan hamil dan menyusui? bagaimana dengan keamanan anak-anak?. Hal ini adalah sebagai bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara, ketika hukum ada secara formal tapi gagal melindungi raga perempuan dilapangan.
Lebih Dari Sekedar Kata Selamat
Hari ibu seharusya menjadi momentum untuk berhenti meromantisasi pengorbanan perempuan dan mulai memberikan hak-hak mereka secara adil. Kita tidak butuh sekedar seremoni jika disaat yang sama para ibu di Aceh dan Sumatra masih harus berebut di toilet umum yang kotor atau tidur ditenda yang tidak aman.
Pemerintah perlu mendesentralisasikan prespektif gender ke dalam etika kebijakan kebencanaan. Bukan hanya objek bantuan, perempuan harus dilibatkan sebagai subjek pengambil keputusan dalam perencanaan evakuasi hingga rekonstruksi pascabencana.
Memberikan ruang hidup yang layak, sanitasi yang aman, dan perlindungan hukum yang nyata adalah kado terbaik bagi para ibu. Tanpa kebijakan yang berprespektif gender , perayaan hari ibu hanya akan menjadi ironi di atas penderitaan perempuan diwilayah bencana.
Sudah saatnya kita berhenti membiarkan para penjaga ketahananan keluarga ini berjuang sendiran di tengah lumpur dan ketidakpastian. Hentikan eksploitasi alam untuk melindungi ibu Bumi sebagai prasyarat keberdayaan perempuan. Perempuan berdaya dari alam yang terjaga, menjaga Bumi berarti memulikan Ibu. (US)
Penulis : Ummu Salamah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional
Pemerhati Perempuan dan Anak

Social Header